Senin, 18 Januari 2010

Indonesia dan Perubahan Iklim

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada April 26, 2007


Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992.Pada pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak terkendali adalah penyebab terjadinya perubahan iklim secara global.

Di Indonesia sendiri, isu perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan.

Laporan para ahli perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini, menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran berbagai kalangan terhadap ancaman perubahan iklim di negeri ini.

Laporan yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation, and Vulnerability menunjukkan ancaman-ancaman perubahan iklim yang sudah terjadi dan diperkirakan akan terjadi di masa depan.

Selain itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim tahunan yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.

Ancaman perubahan iklim di Indonesia


Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim.

Letak geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari perubahan iklim.

Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia.

Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut.

Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim.

Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini.

Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan semakin sering terjadi, beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang paling rawan terhadap ancaman ini.

Meningkatnya suhu memicu peningkatan prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti malaria, diare, dan penyakit saluran pernapasan.Untuk kasus malaria, peningkatan suhu menyebabkan nyamuk, vektor malaria, yang sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di daerah dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan peningkatan penyakit malaria di berbagai daerah di Indonesia.

Kelangkaan air bersih akibat kekeringan dan merembesnya air asin karena kenaikan permukaan air laut, memicu peningkatan penyakit diare di masa depan.


Apa yang harus dilakukan

Melihat begitu luasnya berbagai dampak dari perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia, seluruh kalangan di negeri ini harus segera memulai upaya untuk mengatasinya.

Pemerintah, media, serta lembaga swadaya masyarakat harus segera mulai mensosialisasikan pada masyarakat luas berbagai hal yang terkait dengan isu perubahan iklim, baik mengenai dampaknya maupun upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim di negeri ini.

Selama ini, dikenal ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Mitigasi atas perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, ini dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fossil di berbagai sektor, dan perlahan beralih dari penggunaan energi tak terbarukan ke energi yang terbarukan dan bersih seperti energi panas bumi, surya, dan bahan bakar nabati.

Sedangkan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya penyesuaian yang dilakukan manusia untuk menanggapi perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim.

Untuk Indonesia, upaya adaptasi atas perubahan iklim lebih mendesak dilakukan karena berbagai dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan di berbagai wilayah Indonesia, dan untuk mengatasinya tidak cukup hanya dengan upaya mitigasi belaka.

Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai data-data yang komprehensif mengenai perubahan iklim, sehingga masih sangat sulit untuk menyusun peta kerentanan dampak-dampak dari perubahan iklim.

Pemerintah seharusnya mulai serius untuk mengumpulkan data yang komprehensif tentang perubahan iklim, tentunya hal ini dapat berjalan secara efektif jika melibatkan seluruh lembaga-lembaga yang bidang kerjanya terkait dengan perubahan iklim. Tanpa tersedianya data-data perubahan iklim sebelumnya, maka mustahil untuk menyusun strategi nasional yang efektif dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim.

Ditulis dalam Perubahan Iklim | 13 Komentar »
Terorisme dan Keadilan Global

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada April 19, 2007





Setelah keberhasilan Polri membekuk dan menewaskan salah seorang tersangka teroris Dr. Azahari, berbagai kalangan mulai dari pejabat pemerintah, pengamat, dan para pemuka agama mengeluarkan berbagai pernyataan serta analisa mengenai hal-ikwal terorisme.

Mereka mengeluarkan bermacam hipotesis tentang terorisme mulai dari latar belakangnya psikologi terorisme, sampai dampak-dampak kemanusiaan yang diakibatkan aksi terorisme.Tetapi, jujur saja, menurut saya sebagian besar analisa dan hipotesis yang disampaikan berbagai kalangan ini, hanya melihat dari satu persfektif, tanpa mencoba meninjau persfektif lain.

Tindakan terorisme menurut saya, tidaklah berdiri sendiri dan ahistoris, terorisme sebagai bentuk kejahatan yang terorganisir mempunyai logikanya sendiri, dan dilandasi berbagai argumen yang mau tak mau harus kita ketahui dan pelajari untuk mencari solusi mengatasi dan mengurangi aksi-aksi ini di masa depan.

Analisa yang paling mengemuka dan di percaya luas sebagai akar masalah dari terorisme adalah pemahaman akan ajaran agama yang menyimpang, atau dalam konteks islam, pemaknaan terhadap konsep jihad yang dipahami secara dangkal dan parsial.

Tetapi benarkah hanya itu akar masalah dari terorisme yang semakin meluas belakangan ini. Saya pikir jawaban tadi terlalu menyederhanakan masalah dan terlampau terburu-buru sebagai sebuah jawaban untuk pertanyaan besar tentang akar masalah terorisme.

Terorisme sebagai bentuk reaksi

Aksi terorisme yang makin sering terjadi di berbagai belahan dunia, menurut saya lebih sebagai sebuah bentuk reaksi daripada sebagai aksi. Kalau kita runut ke belakang, terminologi terorisme sendiri baru muncul belum lama ini, dengan makna eksplisitnya adalah setiap tindakan sekelompok masyarakat, etnis, atau individu yang melakukan aksi-aksi yang membahayakan peradaban dan kemanusiaan.

Terminologi teroris itu sendiri selalu digunakan dan dimonopoli oleh negara-negara barat, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Israel terhadap berbagai aksi perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mengancam berbagai kepentingan mereka.
Sedangkan untuk berbagai tindakan penghancuran mereka terhadap Irak, Afganistan selalu mereka atasnamakan untuk kepentingan umat manusia, dan itu sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan terorisme melainkan mereka anggap sebagai suatu usaha mulia untuk menjaga keamanan dunia dan peradaban manusia, tentunya ini versi mereka.

Noam Chomsky dalam bukunya ”Hegemony or Survival : America’s Quest for Global Dominance” menggambarkan dengan sangat baik paradoks ini dalam satu percakapan antara Alexander the great dengan seorang Kepala perompak : suatu ketika, setelah lama memburu kelompok perompak yang dianggap mengganggu keamanan wilayahnya, Alexander the great berhadapan muka dengan sang kepala perompak, dan terjadilah dialog sebagai berikut :

Alexander the great : Hai perompak kenapa kau melakukan berbagai perampokan dan pembunuhan yang kejam di wilayahku?

Kepala perompak : Lalu apa bedanya dengan kau Alexander the great? Kau lebih kejam dari aku, kau hancurkan berbagai wilayah demi kekuasaan kau, kau bunuh banyak orang tak berdosa, kau ciptakan banyak janda di muka bumi. Hanya karena kau punya ribuan balatentara maka kau disebut penakluk, sedangkan karena aku hanya mempunyai belasan orang anggota kau sebut aku pembunuh. Ketika memperbincangkan dan menganalisa terorisme kita tidak bisa melepaskannya dari kondisi politik internasional kontemporer .

Kita tidak bisa gegabah dan terburu-buru mengambil kesimpulan mengenai akar permasalahan terorisme tanpa mencoba memahami berbagai permasalahan global dewasa ini. Tidak perlu menjadi pakar politik internasional, untuk mengetahui bahwa saat ini terjadi berbagai bentuk ketidakadilan global akibat tatanan dunia yang didominasi Amerika Serikat dan sekutunya. Berbagai aksi kekerasan di dunia oleh AS dan Sekutunya, terjadi begitu gamblang tanpa ada tindakan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghentikannya, bahkan untuk sekedar mengecamnya. Pendudukan—untuk tidak menyebut penjajahan—Amerika Serikat terhadap Afganistan dan Iraq merupakan salah satu contoh aksi terorisme yang terlembaga dan dilakukan negara, tanpa ada langkah dari PBB untuk menanggapinya.Belum lagi berbagai penindasan yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia terhadap sebagian rakyatnya, beberapa contoh antara lain genosida etnis Chechen di Kaukasus oleh Rusia, penindasan etnis Uighur di Xin Ziang oleh China, pembersihan etnis Rohingnya di Myanmar, konflik yang berkepanjangan di Thailand Selatan antara etnis Pattani dan Pemerintah Thailand, konflik tanpa akhir antara pemerintah Filipina dengan etnis Moro di Filipina Selatan.

Masalahnya sekarang adalah hampir semua kasus-kasus yang menimpa kelompok etnis yang kebetulan muslim ini, tidak pernah mendapatkan perhatian yang signifikan dari PBB sebagai organisasi yang memayungi bangsa-bangsa di dunia, hampir semua kasus tersebut diisolir hanya sebagai isu internal di negara masing-masing, atau kasus separatisme di negara tersebut.

PBB sama sekali tak pernah melakukan reaksi yang dibutuhkan untuk menangani berbagai masalah di atas, bahkan sekedar kecaman atau kutukanpun tak pernah dilontarkan oleh lembaga bangs-bangsa ini. Sementara itu kalau kita bandingkan dengan reaksi PBB terhadap permasalahan yang terjadi di beberapa negara lain : tuntutan kemerdekaan Papua, gerakan separatisme Aceh merdeka, separatisme Republik Maluku Selatan, yang kesemuanya terjadi di Indonesia.

Kemudian konflik etnis yang terjadi di Darfur, Sudan. Perlawanan FIS terhadap rezim otoriter di Aljazair. Dan masih banyak contoh kasus lainnya. Untuk mengatasi masalah ini, PBB bisa dikatakan sangat proaktif bahkan cenderung reaktif dalam bersikap. Separatisme di Papua dan di Aceh yang jelas-jelas masalah internal Indonesia dianggap merupakan permasalahan yang harus dibawa ke forum internasional, Sudan langsung diberi ancaman akan dikenai Sanksi oleh DK PBB, karena pemerintahnya dianggap lamban dalam mengatasi konflik berkepanjangan di Darfur.

Jelas sekali standar ganda yang diterapkan PBB dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Disatu sisi PBB nampak seperti tak bergigi dan kurang responsif, sementara di sisi lain PBB sangat proaktif bahkan cenderung reaktif.
Berbagai ketidakadilan global inilah yang menurut saya menjadi pemicu aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia.
Saya sepakat dengan Syafii Ma’arif bahwa aksi-aksi terorisme dilakukan oleh orang-orang yang frustrasi dalam menghadapi berbagai tekanan permasalahan kehidupan saat ini, menurut saya para pelaku tindak terorisme putus asa karena merasa bahwa mereka hanya sia-sia menunggu keadilan global ditegakkan, jadi langkah yang mereka ambil adalah dengan menegakkan keadilan dengan cara mereka sendiri.
Inilah yang membuat saya berkesimpulan terorisme dipandang sebagai bentuk reaksi oleh para pelakunya, untuk melawan ketidakadilan dunia yang benar-benar gamblang dan telanjang di depan mata, tanpa ada upaya internasional, dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatasinya.

Keadilan Global sebagai Solusi Penghapusan Terorisme

Berbagai pertemuan, dan konferensi yang diselenggarakan untuk mencari solusi penanganan terorisme hanya akan sia-sia saja, sepanjang tidak ada upaya sungguh-sungguh dunia internasional untuk menegak keadilan global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mampu menjadi kekuatan yang benar-benar memayungi seluruh negara anggotanya, standard ganda yang selama ini diterapkannya dalam menyikapi suatu permasalahan harus segera disingkirkan jauh-jauh. Untuk itulah maka ide untuk mereformasi PBB merupakan usaha yang mau-tak mau harus segera dilakukan.
Negara-negara yang selama ini dikenal memiliki tradisi islam yang moderat seperti Indonesia dengan Islam modernisnya dan Malaysia dengan Islam Hadharinya harus mampu menjadi pelopor dan pengusung isu bagi ditegakkannya keadilan global.
Saya yakin jika upaya ini dapat dilakukan, maka secara perlahan tapi pasti tidak akan ada lagi aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan agama di masa depan.
Namun jika tidak ada upaya nyata untuk menghapuskan ketidakadilan global, maka sejarah kembali akan mencatat berbagai aksi terorisme di masa depan. Azahari boleh tewas, namun akan muncul Azahari-Azahari lain, selama ketidakadilan global masih eksis di bumi ini.

24 November 2005

Ditulis dalam Politik Global | 2 Komentar »
Mahasiswa UI Jadi Saksi Sumpah Ahmadinejad Untuk Lanjutkan Program Nuklir Iran

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada April 19, 2007










Pada saat kunjungan Mahmoud Ahmadinejad ke Indonesia bulan mei tahun 2006, dia sempat datang ke UI untuk menyampaikan kuliah umumnya, saya berkesempatan hadir dalam kuliah umum Presiden Iran itu, berikut ini catatan saya tentang acara tersebut :


Pada hari kedua kunjungannya di Indonesia, Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad menyempatkan diri menjadi pembicara studium generale di Universitas Indonesia. Studium generale yang diadakan di Balai Sidang UI, dihadiri oleh sekitar 300 orang, sebagian besar merupakan mahasiswa dan staff pengajar UI, serta belasan jurnalis dari berbagai media.

Dalam kesempatan ini, Ahmadinejad didampingi oleh Penasihat Republik Islam Iran,Menteri Komunikasi dan Teknologi Iran, Mohammed Soleimani serta Dubes Iran untuk Indonesia : Behrooz Kamavaldi, selain itu Ahmadinejad juga didampingi oleh Menteri Riset dan Teknologi Indonesia, Kusmayato Kadiman, Wali Kota Depok: Nurmahmudi Ismail, dan Duta besar Indonesia untuk Iran : Basri Hasanudin.

Ahmadinejad sendiri seperti biasa, tampil sederhana dengan mengenakan kemeja putih, yang dibalut oleh jas hitam tanpa dasi.

Tidak tampak penjagaan dan pengamanan yang berlebihan baik dari pihak keamanan Indonesia maupun Iran.

Ketika memasuki ruangan, Ahmadinejad disambut oleh tepuk tangan yang sangat meriah dari para peserta studium generale. Acara studium generale tepat dimulai pada pukul 10:00 WIB, diawali oleh sambutan singkat Rektor UI, Usman Chatib Warsa.

Dalam sambutanya Usman, berharap agar Pemerintah Iran dan UI khususnya, serta pemerintah RI pada umumnya dapat bekerja sama tidak hanya dalam sektor ekonomi, tetapi juga dalam sector-sektor lain seperti kebudayaan, kedokteran, riset dan teknologi.

Mengawali kuliah umumnya, Ahmadinejad melontarkan gurauan , bahwa UI yang lahannya seluas 320 Hektar, jika dibagi rata kepada seluruh mahasiswanya maka masing-masing mahasiswa akan mendapatkan tanah seluas 100 M2 , dan ia mengusulkan kepada rektor UI agar membagi rata tanah UI kepada mahasiswanya agar tidak terjadi perselisihan antar mahasiswa. Gurauannya ini disambut tepuk tangan meriah dari para hadirin.
Keajaiban Dunia dan Keadilan Global

Dalam pidatonya Ahmadinejad menekankan bahwa penguasaan ilmu dan teknologi merupakan sumber kemajuan suatu bangsa, dan kunci kemajuan peradaban dunia.

Ahmadinejad menganggap Indonesia merupakan negara yang mempunyai peranan sangat vital tidak hanya di kawasan Asia Tenggara tetapi juga di tingkat Internasional.

Dalam bagian akhir pidatonya, Ahmadinejad mengatakan bahwa saat ini ada suatu keajaiban dunia yang belum tercatat, yaitu pendirian suatu negara- Israel-- dalam wilayah suatu negara lain-Palestina-- dengan cara penghancuran dan penindasan, dan hal ini didukung oleh negara-negara barat. Palestina yang berjuan untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel justeru dianggap teroris, sementara tindakan Israel yang menghancurkan dan menindas Bangsa Palestina selalu dibela oleh negara-negara barat.

Dalam sesi tanya-jawab yang dimoderatori oleh Rektor UI, Ahmadinejad mendapatkan berbagai pertanyaan dan dukungan atas pengembangan program nuklir Iran dari para peserta. Menjawab pertanyaan dari salah satu peserta, yang menanyakan apakah tujuan dari pengayaan uranium dan pengembangan nuklir di Iran hanya untuk tujuan perdamaian atau ada tujuan-tujuan lain.

Ahmadinejad menegaskan bahwa tujuan pengembangan nuklir Iran adalah untuk perdamaian, karena kebutuhan energi yang sangat besar bagi negaranya. Ia mengatakan bahwa di masa depan cadangan bahan bakar dan energi yang berasal dari bahan bakar fosil suatu saat pasti akan habis, oleh karena itu harus dicari upaya-upaya lain untuk mendapatkan energi yang bersih, murah, dan tidak membahayakan lingkungan.

Ia menegaskan nuklir merupakan sumber energi yang memenuhi kriteria diatas. Selain itu Ahmadinejad juga menegaskan bahwa hak setiap negara di dunia untuk mengembangkan teknologi dan dan memilih teknologi apa yang akan dikembangkan, tidak ada hak dari negara manapun untuk membatasi hak negara dalam mengembangkan teknologi di negaranya sendiri.

Ahmadinejad juga mengatakan bahwa saat ini tatanan dunia sudah semakin tidak adil, beberapa negara besar berlaku seenaknya menyerang dan menindas negara lain dengan dalih untuk menjaga perdamaian dunia, padahal jelas-jelas tujuannya adalah untuk mengukuhkan hegemoni mereka di dunia Internasional.

Oleh karena itu adalah saatnya sekarang, keadilan global harus ditegakkan, karena rezim-rezim jahat yang berkuasa saat ini suatu saat pasti akan hancur. Karena itu Iran akan terus mempertahan haknya untuk mengembangkan terus teknologi nuklir untuk perdamaiannya, Ia menegaskan, perjuangannya ini bukan saja untuk Iran, tetapi Juga untuk Indonesia, Malaysia, Bagladesh, Tunisia, Aljazair, dan Afrika Selatan.

Ia juga mengulang kembali idenya agar Israel dipindahkan saja dari Timur Tengah ke wilayah Eropa, karena negara-negara Eropa lah yang bertanggung jawab atas pembantaian bangsa Yahudi pada perang dunia kedua. Bukannya bangsa Palestina.

Ahmadinejad juga menegaskan bahwa Liberalisme dan Demokrasi merupakan sistem yang sudah gagal dalam menjawab berbagai permasalahan dunia saat ini. Pada kesempatan ini Ahmadinejad memberikan bea siswa penelitian ke Iran pada salah satu peserta yang bertanya dan meminta bea siswa langsung kepadanya. Ahmadinejad juga mendapatkan dukungan penuh dari para mahasiswa UI yang menghadiri kuliah umumnya untuk terus mengembangkan energi nuklir untuk perdamaian.

Depok, 12 Mei 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar