Senin, 18 Januari 2010

Kisah Bi Kasneri (Pengusaha Terasi Tradisional)

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada Juli 25, 2008

Sejak enam bulan yang lalu,Kasneri, 46 Tahun ,tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap, kini hampir setiap hari, ia hanya menghabiskan waktu di rumahnya yang sempit dan reyot di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Hanya sesekali jika ada ajakan dari tetangganya sekampung untuk membantu mereka menggarap sawah, baru Ibu Kasneri mendapatkan penghasilan, itupun hanya sebesar 10.000 rupiah sebagai upah untuk 6 jam bersimbah peluh bekerja di ladang milik tetangganya dibawah sengatan sinar matahari Cirebon yang terkenal menusuk.
Sebelumnya sebagai pengusaha kecil terasi tradisional, Kasneri mampu mendapatkan paling kurang 200.000-300.000 rupiah perhari dari hasil penjualan terasinya, terasi yang dibuat oleh pengusaha terasi tradisional di Desa Kanci Kulon tersohor kelezatan dan kekhasan rasanya, karena mereka membuat terasi hanya dengan menggunakan bahan baku dari udang rebon –penduduk setempat menyebutnya ebi— tanpa ada campuran lain, udang-udang kecil ini mereka dapatkan dari hasil melaut di sepanjang pesisir Kecamatan Astanajapura yang meliputi Desa Warumundu, Desa Temu, Desa Kanci Kulon, dan Desa Kanci Wetan. Kasneri sendiri bekerja bersama suaminya, Dalim, 52 tahun, Kasneri yang bertugas meracik terasi sementara Suaminya Dalim yang bertugas menangkap udang rebon di laut, sepanjang pesisir Astanajapura.
Namun, sejak enam bulan terakhir, Kasneri dan Dalim beserta 26 keluarga pembuat terasi tradisional lainnya kehilangan matapencaharian mereka. Mereka tak bisa lagi mendapatkan udang rebon yang merupakan bahan baku pembuatan terasi, jika sebelumnya dalam sekali melaut Dalim bisa mendapatkan lebih dari 10 Kg udang rebon, sejak proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon (PLTU) dimulai di desa mereka, udang rebon seperti menghilang dari laut, setelah mereka mencari tahu penyebabnya, ternyata proses pengurugan tanah untuk pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapuralah yang menjadi biang keladi langkanya udang rebon di laut, dalam proses pengurugan tanahnya, laut dangkal di sepanjang pesisir Astanajapura menjadi keruh dan menghitam akibat buangan lumpur dan limbah dari proses pembangunan PLTU.
Laut yang keruh akibat limbah dan lupur menyebabkan udang rebon tak bisa lagi hidup di lokasi biasa tempat Dalim dan rekan-rekannya menangkap udang.
Ketika saya mengunjungi rumahnya, pertengahan Juli lalu, Kasneri sedang termenung memikirkan nasibnya yang sudah dua hari tak mendapatkan bahan baku untuk pembuatan terasi, sementara Dalim, suaminya, sedang terbujur sakit tanpa mampu berobat ke Puskesmas karena tak mempunyai cukup uang untuk berobat. Ketika saya tanya kenapa tak membawa suaminya ke dokter, Kasneri berkata : “ Untuk makan saja kami tak punya uang pak, apalagi untuk berobat ke dokter”.
Ketika saya tanyakan apakah pernah memprotes kepada pihak pengembang PLTU atau pemerintah setempat mengenai apa yang mereka alami, sambil memandang dengan tatapan kosong, Kasneri bergumam, “mana ngaruh pak, orang kecil seperti kami ngomong dan nuntut”, menurut Kasneri, pemerintah dan pengembang tak pernah memperdulikan jeritan mereka.
Nasib buruk serupa dialami oleh Samsu, 50 tahun, seorang petani garam di Desa Kanci Kulon, Samsu dan keluarganya yang sudah turun-temurun selama puluhan tahun menjadi petani garam, mendadak kehilangan matapencahariannya sejak dibangunnya PLTU di desanya.
Tanah milik Samsu seluas 4000 Meter, tiba-tiba tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani garam. Tanahnya kebetulan berada di lokasi tempat pembangunan PLTU Cirebon, Pihak Pengembang dibantu aparat permerintah setempat memaksa penduduk untuk melepas tanah mereka dengan harga yang rendah. Meskipun mayoritas warga pemilik tanah menolak untuk menjual tanahnya, Pihak Pengembang PLTU tetap memaksa mereka untuk melepas tanahnya. Samsu, adalah salah seorang warga yang sampai saat ini bertahan untuk tidak menjual tanahnya, menurutnya dia akan menolak menjual tanahnya meski ditawar dengan harga berapapun, karena menurutnya tanahnya yang ia gunakan untuk bertani garam adalah hartanya yang paling berharga, dulu dalam setiap musim panen, Samsu dapat menghasilkan paling kurang 20 Juta per 6 Bulan, dengan pendapatannya itu dia bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan hidup layak untuk ukuran desannya. Namun, sejak proses pembangunan PLTU dimulai, tanahnya itu tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk bertani garam, meskipun sampai saat ini tanahnya itu belum dijual, tapi karena lokasi tanahnya berada di tengah-tengah lokasi pembangunan PLTU, Samsu tak bisa lagi beraktivitas. Sumber masalahnya karena pihak pengembang PLTU menutup sumber aliran air laut ke tanahnya, sehingga air garam tak bisa lagi masuk ke ladangnya, dan saat ini tanahnya tak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani, tinggal sebagai tanah kering tak berguna. Meski begitu, Samsu tetap bertekad melawan kesewenang-wenangan pihak pengembang PLTU terhadap dirinya, Samsu tidak sendirian mengalami nasib buruk ini, ada puluhan keluarga petani garam lain yang mengalami nasib serupa dengannya.
Dampak Sosial dan Ekonomi Pembangunan PLTU
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon yang sedang dalam proses pembangunannya ini, terletak di Kecamatan Astanajapura, meliputi 4 desa, yaitu Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, Warumundu, dan Desa Citemu. PLTU ini merupakan bagian dari proyek pemerintah pusat untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara sebesar 10.000 MW sebelum tahun 2010 di seluruh Indonesia, Pemerintah berencana akan membangun 10 pembangkit baru di Pulau Jawa, dan 25 lainnya di luar pulau Jawa.
PLTU Cirebon sendiri dibangun oleh pihak swasta (Independent Power Producer), Pemerintah menunjuk PT. Cirebon Electric Power (CEP) sebagai pengembangnya.
Pihak pengembang membutuhkan lahan seluas 108 Hektare untuk membangun PLTU Cirebon, sampai saat ini baru sekitar 65% lahan yang proses pembebasan lahannya sudah selesai.
Masyarakat setempat di sekitar lokasi pembangunan PLTU sendiri, terpecah menjadi pihak yang mendukung dan menentang pendirian PLTU di desa mereka
Aan Anwarudin, salah seorang aktivis mahasiwa yang menolak pembangunan PLTU di desanya menyatakan PLTU Cirebon dibangun tanpa disertai oleh dokumen Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang jelas, dan juga tanpa disertai sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pembangunan.
Menurut Aan, lokasi pembangunan PLTU sangat dekat dengan pemukiman warga, Pembangkit ini hanya berjarak sekitar 10 Meter dari Desa Kanci Kulon, 450 Meter dari Desa Kanci Wetan, 15 Meter dari Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu.
Aan bersama masyarakat sekitar lokasi yang menolak pendirian PLTU di desa mereka bergabung dalam Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), Rapel telah beberapa kali melakukan unjuk rasa dan protes baik kepada pihak pengembang maupun pemerintah Kabupaten Cirebon untuk menghentikan Proses Pembangunan PLTU di desa mereka.
“PLTU tidak akan membawa dampak positip apa-apa terhadap penduduk Astanajapura, justeru dalam masa pembangunanya PLTU Cirebon sudah merampas tanah masyarakat, dan melakukan proses pemiskinan terhadap masyarakat setempat, seperti petani garam, pengusaha tradisional terasi, dan nelayan kerang hijau”, kata Aan dalam menjelaskan keprihatinanya.
Masyarakat Kanci, menurut Aan,takut akan dampak buruk dari PLTU Batu Bara jika sudah beroperasi nanti, mereka dampak negatifPLTU Cilacap akan menimpa mereka juga, mereka mendengar masyarakat sekitar lokasi PLTU Cilacap menghadapi berbagai dampak negatif, mulai dari meningkatnya penyakit pernafasan di desa-desa sekitar PLTU, lahan pertanian yang mati akibat limbah batu bara, dan serbuan debu batu bara yang membuat udara di sekitar desa mereka tidak lagi layak untuk dihirup.
Pada bulan Februari lalu Aan, beserta masyarakat yang tergabung dalam Rapel (Rakyat Penyelamat Lingkungan) Astanajapura melakukan aksi unjuk rasa di jalur Pantura, menuntut agar pemerintah segera menghentikan proses pembangunan PLTU di desa mereka. Namun, aksi mereka tidak sedikitpun mempengaruhi proses pembangunan PLTU Cirebon.
PT. CEP sendiri sebagai pihak pengembang bersikukuh, bahwa Pembangunan PLTU yang mereka lakukan sudah disertai dengan Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang sah, dan mereka merasa sudah menghargai tanah masyarakat yang mereka bebaskan dengan harga diatas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), jadi menurut mereka tak ada alasan bagi masyarakat untuk menentang pendirian PLTU Cirebon di desa mereka, apalagi menurut Manajer Administrasi dan SDM PT.Cirebon Electric Power, Haryono Diro Waluyo, proyek berkapasitas 660 MW ini didukung penuh oleh pemerintah pusat, dan perjanjian kerjasamanya ditandatangai oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. “Jadi tak ada alasan untuk membatalkan proyek ini” katanya.
“Apalagi, sebagian masyarakat justeru mendukung pembangunan PLTU ini”, tambahnya.
Ketika dikonfirmasi ke Aan Anwarudin, apakah benar ada masyarakat yang mendukung pembangunan PLTU di desanya? Aan menjelaskan bahwa mayoritas warga sesungguhnya menolak pembangunan PLTU di desa mereka, namun mereka tak punya keberanian untuk menyampaikannya secara langsung, karena takut diintimidasi oleh preman-preman bayaran PT. CEP yang menurut Aan, sebagian besar juga warga desa setempat.
Menurut Aan,masyarakat kini terpecah menjadi pendukung dan penolak pembangunan PLTU, sebagian besar yang mendukung adalah aparat desa yang sudah disuap oleh PT. CEP, sisanya adalah preman-preman yang dibayar PT.CEP untuk mengintimidasi masyarakat. Sementara yang menolak PLTU, tergabung dalam rakyat penyelamat lingkungan (Rapel), sehingga menurut Aan lagi, kini terjadi ketegangan sosial antara masyarakat yang mendukung dan menolak. Untungnya sampai saat ini ketegangan ini belum menimbulkan bentrokkan. Namun, kata Aan, jika kondisi ini dibiarkan terus maka cepat atau lambat akan pecah bentrokan di desanya, “dan ini adalah contoh nyata dari dampak jahat pembangunan PLTU Cirebon di desanya’, tukas Aan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar