Senin, 18 Januari 2010

Konferensi Perubahan Iklim Copenhagen sebuah “moment of truth”

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada Oktober 22, 2009

Kurang lebih, sekitar 45 Hari lagi akan berlangsung Konferensi Perubahan Iklim PBB yang mungkin paling penting sepanjang sejarah disenggarakannya konferensi ini. Konferensi Perubahan Iklim ke 15 (atau COP 15) akan diselenggarakan di Copenhagen, Denmark, pada tanggal 7 Desember sampai 12 Desember 2009. Konferensi ini akan dihadiri sekitar 15000 perwakilan anggota delegasi dari sekitar 192 Negara di dunia, termasuk para kepala negara dan kepala pemerintahannya.

Konferensi ini dianggap paling penting karena dalam konferensi ini diharapkan tercapai perjanjian baru yang menggantikan Protokol Kyoto, yang akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2012. Konferensi ini juga sangat krusial perannya, karena semakin sedikitnya waktu yang tersisa bagi umat manusia untuk mengatasi dampak-dampak dari perubahan iklim global. Jika pada konferensi kali ini tak berhasil dicapai keputusan yang nyata, maka sudah bisa diperkirakan masa depan umat manusia akan sangat terancam karena berbagai dampak negatif dari perubahan iklim yang akan semakin dahsyat menghantam umat manusia.

Saat ini, sebagian besar warga dunia telah menyadari, bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan peradaban umat manusia di planet bumi. Mayoritas pemimpin negara di seluruh dunia juga telah menempatkan aksi memerangi perubahan iklim sebagai prioritas utama program kerja mereka.

Laporan terakhir para ilmuwan yang tergabung dalam panel ahli perubahan iklim antar pemerintahan (IPCC) yang diluncurkan pada tahun 2007, menyimpulkan dengan penuh keyakinan bahwa pemanasan global yang terjadi di planet bumi pada saat ini disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia, atau dengan kata lain perubahan iklim yang terjadi saat ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya umat manusia.

Deforestasi atau pengrusakan hutan, penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara di sektor energi dan transportasi merupakan aktivitas manusia yang merupakan penyebab utama meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Pemanasan global yang memicu perubahan iklim memberikan dampak negatif yang sangat luar biasa bagi kehidupan manusia di planet bumi, berbagai bencana alam yang diduga terjadi akibat pengaruh dari perubahan iklim silih berganti menghantam berbagai negara di dunia. Peristiwa iklim yang paling anyar adalah Topan Ketsana dan Parma yang baru saja menghantam Filipina dan menewaskan hampir 1000 korban jiwa, bencana alam ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa saat ini perubahan iklim bukan lagi sekedar ancaman, tapi sudah nyata terjadi dan menimbulkan ancaman tak terperikan buat peradaban umat manusia.

Berbagai negara di dunia, telah merasakan dampak ekstrem dari perubahan iklim terhadap kehidupan mereka. Negara-negara kepulauan kecil di wilayah Pasifik Selatan, seperti Tuvalu, Vanuatu, dan Marshall Islands merupakan beberapa negara kepulauan kecil yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan telah mengalami dampaknya. Bahkan sebagian dari rakyat Tuvalu dan Marshall Islands saat ini telah direlokasi ke Australia dan Selandia Baru karena beberapa bagian wilayah negara mereka telah tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim, dan saat ini mereka menyandang julukan sebagai para pengungsi iklim yang pertama.

Melihat berbagai dampak menakutkan dari perubahan iklim terhadap kehidupan umat manusia. Para pemimpin negara di dunia telah menyadari bahwa harus ada upaya-upaya nyata yang dilakukan secara bersama-sama untuk menghadapi fenomena global ini.

Konferensi PBB mengenai perubahan iklim atau dikenal juga dengan COP (Conference of The Parties) diselenggarakan setiap tahun. COP pertama kali, diselenggarakan di Berlin, Jerman pada tahun 1993. Dalam setiap konferensi para perwakilan negara-negara di dunia bersidang dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan dalam mengatasi perubahan iklim.

Protokol Kyoto

Pada COP ke 3 di Kyoto, Jepang. Para pemimpin negara di dunia menyepakati suatu perjanjian untuk mengatasi masalah perubahan iklim, perjanjian ini dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Dalam Protokol ini disepakati bahwa negara-negara maju atau dikenal dengan negara Annex 1 harus mengurangi emisi Karbon di negara mereka sampai tingkat 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990. Periode berlakunya perjanjian ini adalah tahun 2008-2012.

Proses perjanjian ini sampai berkekuatan hukum sangatlah panjang dan melelahkan, karena pada awalnya banyak negara-negara maju yang merupakan kontributor utama gas rumah kaca menolak untuk meratifikasinya. Sementara itu, menurut syarat-syarat persetujuan perjanjian ini, Protokol ini akan mulai berlaku pada hari ke 90 setelah tanggal dimana tidak kurang dari 55 negara, termasuk negara Annex 1, yang bertanggung jawab setidaknya 55% dari seluruh emisi karbon pada tahun 1990 meratifikasi perjanjian ini.

Protokol ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum pada tanggal 16 Februari 2005, setelah Rusia meratifikasinya pada tanggal 18 November 2004.

Amerika Serikat dan Australia yang merupakan negara-negara industri maju dan penyumbang utama gas rumah kaca, menolak meratifikasinya. Sampai detik ini Amerika Serikat tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Sementara itu, Australia, dibawah kepemimpinan Perdana Menterinya yang baru Kevin Rudd, akhirnya meratifikasi protokol penting ini pada tahun 2007, bertepatan dengan diselenggarakannya COP ke 13 di Nusa Dua, Bali, Indonesia.

Perjanjian Global Baru untuk Mengatasi Perubahan Iklim Sangat Dibutuhkan

Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2012. Dengan berakhirnya masa berlaku protokol ini, maka pada Konferensi di Copenhagen, Bulan Desember nanti sangat diharapkan tercapai berbagai keputusan yang kongkret dan berani dari para pemimpin dunia untuk mengatasi ancaman perubahan iklim global.

Pada pertemuan ini, diharapkan para pemimpin negara-negara yang berkumpul akan menyetujui beberapa hal antara lain:
Perjanjian atau kesepakatan baru untuk melanjutkan Protokol Kyoto yang akan berakhir masa berlakunya.
Komitmen dari negara-negara industri maju untuk mengurangi emisi karbon mereka secara signifikan.
Komitmen dari negara-negara berkembang untuk membatasi emisi gas rumah kaca mereka.
Tercapai kesepakatan oleh negara-negara maju untuk menyediakan pendanaan bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Pada akhirnya, jika konferensi perubahan iklim Copenhagen gagal menghasilkan keputusan yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim, kita sebagai umat manusia harus bersiap-siap menghadapi berbagai bencana akibat perubahan iklim yang akan semakin dahsyat terjadi. Artinya, konferensi perubahan iklim di Copenhagen, bulan Desember mendatang, adalah konferensi yang menentukan “hidup-matinya” peradaban umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar