Senin, 18 Januari 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
b.
bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara;
c.
bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PENDAHULUAN
• BAB I, KETENTUAN UMUM
• BAB II, PERLINDUNGAN MUTU UDARA
• BAB III, PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
• BAB IV, PENGAWASAN
• BAB V, PEMBIAYAAN
• BAB VI, GANTI RUGI
• BAB VII, SANKSI
• BAB VIII, KETENTUAN PERALIHAN
• BAB IX, KETENTUAN PENUTUP
• LAMPIRAN
• PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2.
Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3.
Sumber pencemar udara adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4.
Udara ambien adalah udara bebas di permukaaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnnya;
5.
Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6.
Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;
8.
Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
9.
Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannnya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar;
10.
Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;
11.
Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12.
Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor;
13.
Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14.
Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15.
Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
16.
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17.
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau
bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18.
Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik;
19.
Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
20.
Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21.
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
22.
Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23.
Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24.
Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25.
Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26.
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
27.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;
28.
Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
29.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30.
Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara
Bagian Kedua Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
1.
Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
2.
Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 5
1.
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
2.
Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional
3.
Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (!) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional
4.
Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
5.
Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
6.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah.
Bagian Ketiga Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
1.
Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
2.
Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.
Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien.
Pasal 7
1.
Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
2.
Dalam hal gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
1.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
2.
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
3.
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
1.
Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.
Bagian Kelima Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
1.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2.
Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a.
baku tingkat kebisingan;
b.
baku tingkat getaran;
c.
baku tingkat kebauan dan;
d.
baku tingkat gangguan lainnnya.
3.
Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memepertimbangakan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
4.
Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
5.
Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
1.
Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
1.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
2.
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Pasal 14
1.
Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan.
2.
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk :
a.
bahan informasi kepada mesyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu;
b.
bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.
BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
Pasal 17
1.
Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
2.
Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 18
1.
Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
2.
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur.
3.
Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 19
1.
Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.
2.
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara :
a.
penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini;
b.
penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan ke udara ambien wajib :
a.
menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
b.
melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
c.
memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 22
1.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
2.
Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku
1.
tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannnya.
2.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
3.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
1.
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 1 Keadaan Darurat
Pasal 26
1.
Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka :
a.
Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;
b.
Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara didaerahnya.
2.
Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain
melalui media cetak dan/atau media elektronik.
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.
Paragraf 2 Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien disekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 29
1.
Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulanganb pencemaran udara sumber tidak bergerak.
Pasal 30
1.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.
2.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimkasud dalam Pasal 9 ayat (2).
Paragraf 3 Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebasa timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.
Pasal 32
1.
Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
1.
Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.
2.
Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.
4.
Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 35
1.
Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
2.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 36
1.
Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggungjawab.
Paragraf 4 Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
1.
Instansi yang bertanggung jawab mengkoordiansikan pelaksanaan penanggung pencemaran udara dari sumber gangguan.
2.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan.
Pasal 39
1.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
2.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.
Pasal 41
1.
Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.
2.
Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.
4.
Uji tipe kebisingan yang dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan
Pasal 42
1.
Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
2.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 43
1.
Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berskala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisinga berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV PENGAWASAAN
Pasal 44
1.
Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
2.
Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
1.
Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
2.
Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 47
1.
Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2.
Penanggung jawab jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), wajib memenuhi permintaan petugas penagwas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
Setiap penanggung jawab dan/atau kegiatan wajib :
a.
Mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
b.
Memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c.
Memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d.
Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e.
Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Pasal 50
1.
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
2.
Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
1.
Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien;
2.
Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
3.
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.
BAB V PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala pembiayaan yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.
BAB VI GANTI RUGI
Pasal 54
1.
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya;
2.
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, baik terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaskud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VII SANKSI
Pasal 56
1.
Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Paal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Psasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.
Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 59
Peraturan Pemerintah ini dimulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA TANGGAL : 26 MEI 1999
BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL
No.
Parameter
Waktu Pengukuran
Baku Mutu
Metode Analisis
Peralatan
1
SO2 (Sulfur Dioksida)
1 Jam 24 Jam 1 Thn
900 ug/Nm3 365 ug/Nm3 60 ug/Nm3
Pararosanilin
Spektrofotometer
2
CO (Karbon Monoksida)
1 Jam 24 Jam 1 Thn
30.000 ug/Nm3 10.000 ug/Nm3
NDIR
NDIR Analyzer
3
NO2(Nitrogen Dioksida)
1 Jam 24 Jam 1 Thn
400 ug/Nm3 150 ug/Nm3 100 ug/Nm3
Saltzman
Spektrofotometer
4
O3 (Oksidan)
1 Jam 1 Thn
235 ug/Nm3 50 ug/Nm3
Chemiluminescent
Spektrofotometer
5
HC (Hidro Karbon)
3 Jam
160 ug/Nm3
Flame Ionization
Gas Chromatogarfi
6
PM10 (Partikel < 10 um)
24 Jam
150 ug/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
PM 2.5*
24 Jam 1 Jam
65 ug/Nm3 15 ug/Nm3
Gravimetric Gravimetric
Hi – Vol Hi - Vol
7
TSP (Debu)
24 Jam 1 Jam
230 ug/Nm3 90 ug/Nm3
Gravimetric
Hi – Vol
8
Pb(Timah Hitam)
24 Jam 1 Jam
2 ug/Nm3 1 ug/Nm3
Gravimetric Ekstraktif Pengabuan
Hi – Vol AAS
9
Dustfall (Debu Jatuh)
30 Hari
10 Ton/Km2/Bulan(Pemukiman) 20 Ton/Km2/Bulan(Industri)
Gravinetric
Cannister
10
Total Fluorides (as F)
24 Jam 90 Hari
3 ug/Nm3 0,5 ug/Nm3
Spesific ion Electrode
Impinger atau Continous Analyzer
11
Fluor Indeks
30 Hari
40 ug/100 cm2dari kertas limed filter
Colourimetric
Limed Filter Paper
12
Khlorine dan Khlorine Dioksida
24 Jam
150 ug/Nm3
Spesific ion Electrode
Impinger atau Continous Analyzer
13
Sulphat Indeks
30 Hari
1 mg SO3/100 cm3Dari Lead Peroksida
Colourimetric
Lead Peroxida Candle
Catatan :

(*) PM2.5 mulai diberlakukan tahun 2002

Nomor 10 s/d 13 Hanya berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : Industri Petro Kimia; Industri Pembuatan Asam Sulfat
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
UMUM
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber daya alam yang harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan maka pengendalian pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya. Dalam pencemaran udara selalu terkait dengan sumber yang menghasilkan pencemaran udara yaitu sumber yang bergerak (umumnya kendaraan bermotor) dan sumber yang tidak bergerak (umumnya kegiatan industri) sedangkan pengendaliannya selalu terkait dengan serangkaian kegiatan pengendalian yang bermuara dari batasan baku mutu udara. Dengan adanya tolok ukur baku mutu udara maka akan dapat dilakukan penyusunan dan penetapan kegiatan pengendalian pencemaran udara. Penjabaran kegiatan pengendalian pencemaran udara nasional merupakan arahan dan pedoman yang sangat penting untuk pengendalian pencemaran udara di daerah. Disamping sumber bergerak dan sumber tidak bergerak seperti tersebut di atas, terdapat emisi yang spesifik yang penanganan upaya pengendaliannya masih belum ada acuan baik di tingkat nasional maupun internasional. Sumber emisi ini adalah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan kendaraan berat spesifik lainnya.
Maka penggunaan sumber-sumber emisi spesifik tersebut di atas harus tetap mempertimbangkan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan hidup.
Mengacu kepada Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan memepertimbangkan generasi kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. Pengendalian pencemaran udara mengacu kepada sasaran tersebut sehingga pola kegiatannya terarah dengan tetap memepertimbangkan hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas di dalam hak dan kewajibannya mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan pemerintah ini juga diatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat serta setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan agar dalam setiap langkah kegiatannya tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pengendalian pencemaran udara mencakup kegiatan-kegiatan yang berintikan :
a.
inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran udara;
b.
penetapan baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi yang digunakan sebagai tolok ukur pengendalian pencemaran udara;
c.
penetapan mutu kualitas udara di suatudaerah termasuk perencanaan pengalokasian kagiatan yang berdampak mencemari udara;
d.
pemantauan mutu kualitas udara baik ambien dan emisi yang diikuti dengan evaluasi dan analisis;
e.
pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran udara;
f.
peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara;
g.
kebijakan bahan bakar yang diikuti dengan serangkaian kegiatan terpadu dengan mengacu kepada bahan bakar bersih dan ramah lingkungan.
h.
penetapan kebijakan dasar baik teknis maupun non-teknis dalam pengendalian pencemaran udara secara nasional.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Yang dimaksud dengan udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya adalah udara ambien di luar lingkungan kerja yang
sehat dan bersih yang aman untuk kesehatan dan keselamatan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Yang dimaksud dengan menggunakan suatu media udara atau padat untuk penyebarannya adalah :
a.
melalui media (perantara) udara untuk sumber gangguan kebisingan dan kebauan;
b.
melalui media (perantara) padatan untuk sumber gangguan getaran.
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Cukup jelas
Angka 22
Yang dimaksud dengan diproduksi ulang adalah kegiatan rancang bangun kendaraan bermotor untuk menghasilkan kendaraan bermotor tipe baru yang menyebabkan berubahnya kondisi mesin baik dari dimensi, transmisi daya, maupun teknologi pembakarannya. Sehingga pada akhirnya dapat mengubah emisi gas buang yang dihasilkannya.
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Cukup jelas
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28
Cukup jelas
Angka 29
Cukup jelas
Angka 30
Cukup jelas
Pasal 2
Sehubungan dengan adanya keterbatasan teknis dalam penyusunan dan pelaksanaannya di lapangan, maka untuk saat ini pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak spsesifik dan sumber tidak bergerak spesifik belum diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum kualitas udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk di semua kawasan di seluruh Indonesia. Sehingga arah dan tujuan dari penetapan baku mutu ini adalah untuk mencegah pencemaran udara nasional. Dalam penetapan baku mutu udara ambien nasional dilibatkan unsur-unsur instansi terkait dan mempertimbangkan standar-standar internasional.
Ayat (2)
Pertimbangan peninjauan baku mutu udara ambien nasional paling cepat setelah 5 (lima) tahun adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada para investor.
Pasal 5
Ayat (1)
Status mutu ambien daerah adalah mutu udara ambien yang menggambarkan keadaan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada waktu tertentu. Langkah untuk penetapan status mutu udara ambien daerah adalah dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu saat dilakukannya pengambilan sampel udara ambien. Dalam penetapan status mutu udara ambien daerah terdapat beberapa kegiatan pokok yang harus diperhatikan, diantaranya :
a.
Inventarisasi data-data Indeks Standar Pencemar Udara atau data-data kualitas udara ambien daerah; Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) merupakan angka yang menggambarkan kualitas udara ambien di suatu area pada waktu tertentu dengan peralatan pemantau kualitas udara secara kontinyu dan otomatis. Dengan analisis data ini (bulanan dan tahunan) akan diketahui kecenderungan tentang kualitas udara di daerah yang bersangkutan. Sedangkan data-data kualitas udara ambien diperoleh dari pengambilan sampel secara manual.
b.
Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensi emisinya; Pada dasarnya pencemaran yang terjadi ditimbulkan oleh berbagai
aktivitas. Aktivitas utama yang sangat berpengaruh bagi timbulnya pencemaran adalah industri, transportasi, rumah tangga, pembakaran buangan padat (sampah), pembukaan lahan-lahan lain-lain. Potensi masing-masing sumber dalam mengemisikan pencemar perlu diketahui agar dapat dihitung besarnya emisi yang timbul serta kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aktivitas di setiap kota.
c.
Inventarisasi kondisi atmosfir di daerah;
Kondisi ini meliputi meteorologi dan topografi dari daerah yang bersangkutan. Meteorologi memungkinkan terjadinya berbagai pergerakan dan reaksi polutan di atmosfer. Sedangkan topografi berpengaruh terhadap sifat penyebaran pencemar. Sehingga secara tidak langsung hal ini akan mempengaruhi dalam penentuan status mutu udara ambien.
Ayat (2)
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan sebagai sebagai batas maksimum kualitas udara ambien daerah yang diperbolehkan dan berlaku di seluruh wilayah udara di atas batas administratif daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Parameter dominan dan kritis adalah parameter yang konsentrasinya relatif tinggi dibandingkan dengan parameter lain yang dikeluarkan dari cerobong industri atau pipa gas buang kendaraan bermotor.
Selanjutnya, kualitas bahan bakar yang dimaksudkan adalah kadar parameter tertentu yang dalam proses pembakarannya akan mempengaruhi mutu emisi yang dikeluarkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor tipe baru akan diperketat sesuai dengan kemampuan teknologi kendaraan bermotor yang tersedia saat ini, pilihan-pilihan teknologi pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor yang akan datang seperti penggunaan catalic converter (suatu peralatan yang dapat mereduksi kadar polutan gas buang kendaraan bermotor sampai dengan 90%) serta penggunaan bahan bakar khususnya solar dengan kadar Belerang (S) yang rendah serta bensin bebas Timah Hitam (Pb) atau timbal. Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor lama akan semakin diperketat setiap 5 (lima) tahun disesuaikan dengn umur kendaraan bermotor. Hal ini untuk mengantisipasi penggunaan bensin bekas timbal di era perdagangan bebas dan ekspor ke negara-negara lain yang telah menggunakan bensin bebas timbal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Baku tingkat gangguan lainnya adalah baku tingkat gangguan elektromagnetik.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Baku tingkat gangguan untuk sumber tidak bergerak akan dikaji sesuai dengan perkembangan teknologi pengendalian kebisingan, kebauan, dan getaran untuk saat ini dan masa mendatang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Indeks Standar Pencemar Udara adalah indeks atau angka yang sudah baku yang diambil dari negara-negara maju. Penetapan pertimbangan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai esetetika adalah sudah baku yang diambil dari negara-negara maju.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) diperoleh dari stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis sehingga dapat diperoleh:
a.
data harian;
b.
data yang real time (waktu nyata);
c.
data yang kontinyu dari waktu ke waktu.
Ketiga data di atas adalah yang dipersyaratkan dalam pemakaian sistem Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Pengumuman Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dilakukan setiap hari secara nasional oleh Instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan untuk wilayah tingkat II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan. Pengumuman ini dapat dilakukan melalui media cetak (surat kabar) dan/atau media cetak elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara yang unsur-unsurnya terdiri dari pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas udara berpijak pada 2 (dua) kegiatan pokok yaitu penaatan baku mutu dan pemantauan mutu udara baik emisi maupun ambien. Sedangkan kegiatan penanggulangan dan pemulihan pada umumnya dilakukan setelah kedua kegiatan pokok di atas dilaksanakan.
Pasal 17
Ayat (1)
Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional berisikan kebijaksanaan tentang :
a.
penetapan dan pelaksanaan program kerja nasional di bidang pengendalian pencemaran udara;
b.
pembinaan teknis di bidang pengendalian pencemaran udara kepada Pemerintah Daerah;
c.
evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja pengendalian
pencemaran udara di daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan kebijaksanaan dalam rangka pencegahan pencemaran udara, misalnya penggunaan bahan bakar bersih, peningkatan peran masyarakat, penetapan pola pemasyrakatan program dan penetapan kebijaksanaan yang lain yang strategis.
Pasal 21
Huruf a
Menaati baku mutu (udara ambien, emisi dan gangguan) berarti di bawah baku mutu untuk parameter-parameter tertentu dengan melihat jenis dan kondisi kegiatan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Angka 300 merupakan suatu angka yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional yang menyatakan bahwa angka 300 berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Ayat (2)
Pengumuman keadaan darurat kepada masyarakat dapat dilakukan melalui media cetak (surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet)
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah persyaratan pendukung dalam kaitannya dengan penaatan baku mutu emisi, ambien, dan kebisingan. Contohnya : persyaratan lubang sampling di cerobongasap, persyaratan titik sampling untuk udara ambien, persyaratan pelaporan dan persyaratan teknis lainnya.
Pasal 31
Kebijaksanaan dasar penanggulangan pencemaran udara untuk sumber bergerak dapat dilakukan dengan cara penggunaan bahan bakar bebas timbal dan kadar belerang rendah untuk kendaraaan bermotor baru, dan lama penggunaan catalic converter (peralatan yang dapat mereduksi polutan gas buang kendaraan bermotor sampai dengan 90 %), dan meningkatkan penggunaan bahan bakar gas serta meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk merawat kendaraan bermotornya sehingga emisi gas buangnya menjadi rendah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Uji tipe emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan cara sampling. Artinya, tidak setiap kendaraan bermotor tipe baru dilakukan uji emisi melainkan untuk tiap sejumlah produk akan diambil satu sampel. Selanjutnya, pengujian kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan alat Chasis Dynamometer dengan suatu standar mode yang berbeda-beda untuk setiap jenis dan berat kendaraan bermotor. Pengujian ini dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian khusus untuk pengujian mode (Type Approval).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil uji tipe gas buang kendaraan bermotor tipe baru diumumkan kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet)
Ayat (3)
Pedoman teknis dan tata cara hasil uji tipe emisi akan memuat hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor sesuai dengan baku mutu emisinya, metode pengujian yang digunakan dan mekanisme pengujiannya.
Pasal 36
Ayat (1)
Berbeda dengan kendaraan bermotor tipebaru, setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala. Uji emisi berkala terhadap kendaraan bermotor lama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu yang pertama, untuk kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dilakukan pada kondisi mesin hidup dengan perseneling dalam keadaan netral (kondisi idle). Kedua, untuk kendaraan bermotor berbahan bakar solar dilakukan pada kondisi percepatan bebas, yaitu kondisi mesin hidup dengan gas ditekan pada percepatan penuh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil pengujian tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru diumumkan kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pemantauan terhadap mutu udara ambien yang dilakukan masyarakat dilakukan di luar area kegiatan
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar