Senin, 18 Januari 2010

Indonesia dan Perubahan Iklim: Menunda Berakibat Bencana

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada Agustus 31, 2009

Siang itu, Minggu, 30 Agustus 2009, matahari sedang bersinar dengan sangat terik di atas Desa Krambilsawit, Saptosari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Puluhan ember tampak bergeletakan diatas tanah kering kerontang yang pecah-pecah, pertanda sudah begitu lama tak tersentuh air hujan. Sementara itu, beberapa meter dari tempat puluhan ember itu bergeletakan, tampak belasan ibu-ibu antre mengerumuni sebuah lubang kecil, sembari mencidukkan gayung yang disambung dengan tongkat kecil kedalam lubang tersebut.

Beberapa tahun belakangan ini, Masyarakat Desa Krambilsawit, Gunung Kidul, Yogyakarta, merasakan betapa menderitanya mengalami krisis air bersih, akibat kekeringan dahsyat yang mereka alami setiap musim kemarau. Kekeringan yang mereka alami akan memuncak pada puncak musim kemarau, sekitar bulan Juli-September. Di saat seperti itu, Telaga Miri, menjadi satu-satunya sumber air bersih bagi kebutuhan mereka sehari-hari. Namun, telaga yang berubah menjadi kubangan kering pada puncak musim kemarau itu, hanya menyisakan sedikit air, pada beberapa lubang kecil disekitar telaga. Lubang-lubang itulah yang dikerumuni oleh belasan ibu-ibu Desa Krambilsawit setiap harinya, lubang itu juga yang menjadi tumpuan bagi kebutuhan air mereka sehari-hari selama kemarau menggila.

Januari, 2008. Belasan jadwal pesawat yang seharusnya mendarat dan lepas landas dari Bandara Temindung, Samarinda, terpaksa dibatalkan. Banjir yang sudah terjadi sejak seminggu sebelumnya di Ibu Kota Kalimantan Timur itu tak kunjung surut, puluhan ribu orang harus mengungsi dari rumah mereka. Samarinda berubah menjadi kota petaka. Banjir besar yang biasanya terjadi setiap 10 tahun sekali di kota itu, tiba-tiba menghantam Samarinda pada awal tahun 2008, lebih cepat dari biasanya, banjir yang tak pernah diperkirakan sebelumnya itu, mengakibatkan kerugian begitu besar bagi penduduknya. Diprediksi kerugian akibat bencana ini, mencapai puluhan miliar rupiah. Belum lagi korban jiwa, baik akibat dampak langsung ataupun tidak langsung. Kerusakan alam yang masif di Kalimantan Timur akibat aktivitas pertambangan batubara dituding menjadi penyebab utama bencana banjir yang terjadi di luar periode biasanya itu. Selain itu para pakar dan jajaran pemerintahan di provinsi itu menuding fenomena “el nino” lah yang menjadi biang keladi dari air bah ini.

Januari 2009. Sudah 2 minggu, Fransiskus Mooi, tidak juga bisa menyebrang ke Kupang dari kampung halamannya di Pulau Rote. Cuti natal dan tahun barunya yang hanya selama 10 hari, sudah habis sejak seminggu lalu. Frans takut akan dipecat dari pekerjaannya jika tak bisa juga menyebrang ke Kupang dalam 2-3 hari ini. Pak Wijaya induk semangnya, tentu tak akan mau mengerti kendala alam yang dialami Frans. Gelombang laut setinggi 5-7 meter membuat kapal-kapal ferry reguler yang melayani penyebrangan Rote-Kupang tak diijinkan beroperasi, risiko yang akan dihadapi akan sangat besar jika nekat beroperasi. Gelombang yang sangat tinggi ditambah badai laut yang sewaktu-waktu bisa terjadi akan membuat kapal ferry itu bagai kapas ditengah gelombang lautan. Peristiwa tenggelamnya kapal Ferry Citra Mandala Bahari yang melayani Rote-Kupang tahun 2006 lalu, membuat trauma masyarakat, lebih baik menunggu gelombang laut reda lebih dahulu, ketimbang menantang maut.

Apa yang dialami oleh Fransiskus Mooi, sudah jamak dialami oleh masyarakat yang tinggal di kepulauan di wilayah NTT dan Maluku, pada setiap musim timur, yang terjadi pada bulan Desember-Februari. Masyarakat pulau-pulau kecil di wilayah NTT dan Maluku yang sangat tergantung pada penyeberangan laut ini, merasakan betapa hidup mereka sangat ditentukan oleh gelombang laut. Sudah jamak terjadi, pemudik yang pulang kampung untuk merayakan natal dan tahun baru di kampung halamannya, tak bisa kembali tepat waktu ke kota tempat mereka bekerja karena badai dan gelombang laut yang tinggi membuat ferry yang menjadi satu-satunya alat transportasi mereka tak bisa beroperasi. Bencana tenggelamnya kapal ferry yang nekat beroperasi , pada saat mengganasnya gelombang laut di wilayah negeri ini, menjadi bukti bahwa beberapa tahun belakangan ini kondisi cuaca laut semakin tak mudah ditebak, badai dan gelombang laut semakin sering terjadi dalam skala yang ekstrim.

Perubahan Iklim sedang menghantam kita

Puluhan laporan penelitian mengenai perubahan iklim telah dirilis dan diluncurkan baik secara global maupun secara nasional selama setahun terakhir ini. Semuanya membeberkan data-data dan fakta-fakta mengenai dampak dari perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai kalangan yang sebelumnya skeptis terhadap perubahan iklim, mau tak mau , terpaksa mengubah keyakinan mereka karena fakta-fakta mengenai dampak perubahan iklim yang begitu gamblang di hadapan mereka.

Para pakar perubahan iklim dunia yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental panel on Climate Change), bahkan mengaku mereka terkejut dengan laju perubahan iklim yang semakin cepat dan dampak perubahan iklim yang semakin dahsyat, jauh lebih cepat dan dahsyat dari perkiraan mereka sebelumnya.

Global Humanitarian Forum, sebuah lembaga bentukan Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB, meluncurkan laporan terbaru mereka yang menunjukkan fakta yang sangat mencengangkan. Menurut laporan itu, dampak dari perubahan iklim mengakibatkan korban jiwa sebesar 300.000 jiwa di seluruh dunia, setiap tahunnya, angka ini melonjak dua kali lipat dari laporan sebelumnya. Angka fantastis ini, juga menempatkan perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup umat manusia di bumi ini.

ADB, pada sidangnya di Bali, bulan April lalu, merilis laporan yang bertajuk “The Economics of Climate Change in Southeast Asia”, dalam laporan ini ADB memaparkan data-data yang terkait dengan dampak perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara. Laporan ini menyebutkan Asia Tenggara merupakan kawasan di dunia yang paling rentan terhadap perubahan perubahan iklim, dan berisiko mengalami konflik akibat terjadinya kelaparan, krisis air bersih, dan potensi kerugian ekonomi yang tinggi di kawasan ini.

Perekonomian kawasan Asia Tenggara akan mengalami kerugian sebesar 6,7% dari total GDP kawasan pertahun, pada tahun 2100 nanti. Ini artinya kerugian yang ditanggung kawasan ini lebih dari dua kali lipat kerugian ekonomi yang ditanggung secara global.

Laporan ini juga menyebutkan Indonesia merupakan negara kontributor terbesar gas rumah kaca di kawasan, sekaligus merupakan negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Asia Tenggara. Sekitar 56% emisi gas rumah kaca di Asia Tenggara, datang dari Indonesia. Selain itu Indonesia juga berpotensi mengalami peningkatan kejadian berbagai bencana yang diduga terjadi akibat perubahan iklim. Banjir, Kekeringan, Tanah longsor, dan meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit tropis akan semakin sering terjadi di negara terbesar di kawasan ini.

Masih dalam tahun ini, EEPSEA (Economy and Environment Program for Southeast Asia), sebuah lembaga riset yang berbasis di Singapura. Meluncurkan laporan risetnya yang bertajuk “Climate Change Vulnerability Mapping in Southeast Asia”. Penelitian yang dilakukan oleh EEPSEA, bertujuan untuk mengukur dan memetakan tingkat kerentanan perubahan iklim di 530 kota di wilayah Asia Tenggara. Hasil dari penelitian yang menempatkan hampir semua kota besar di Indonesia sebagai kota yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Jakarta, sendiri, menempati urutan teratas dalam daftar kota yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di antara 530 kota di kawasan Asia Tenggara.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, dalam SLHI (Status Lingkungan Hidup Indonesia) tahun 2008, memaparkan data yang sangat mencengangkan, menurut catatan KLH, di wilayah Indonesia sepanjang tahun 2008, tidak ada satu bulan pun, sejak Januari sampai Desember, yang bebas dari bencana-bencana yang diduga akibat perubahan iklim. Bencana-bencana yang terjadi sepanjang tahun 2008, menghantam berbagai kawasan di negeri ini. Mulai dari Banjir di Samarinda, Kekeringan di Gunung Kidul, sampai gelombang laut di wilayah timur Indonesia.

Fakta serta data hasil riset berbagai lembaga penelitian, menunjukkan dan membuktikan bahwa saat ini, Indonesia sedang menghadapi bencana perubahan iklim, negeri ini sedang dalam pusaran bencana iklim. Ancaman perubahan iklim bukan lagi isapan jempol, perubahan iklim bukan sekedar ancaman kosong. Dampaknya sedang terjadi dan telah memakan korban jiwa.

Lamban Berakibat Bencana

Berbagai bencana akibat dampak perubahan iklim yang terjadi di negeri ini, mengharuskan kita semua mengambil langkah-langkah kongkret untuk ikut mengatasinya. Jika tak ada upaya nyata yang diambil, maka dampak dari perubahan iklim akan semakin dahsyat dan tak terbayangkan lagi tingkat kerusakannya.

Di tingkatan individu, langkah-langkah sederhana untuk ikut mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim, harus segera diambil. Penghematan penggunaan kertas, hemat energi, dan efisiensi energi adalah langkah paling mudah untuk berperan serta dalam mengatasi ancaman global ini.

Namun, langkah yang paling penting dan paling mendesak harus diambil oleh SBY sebagai pemimpin negeri ini. Jika tak ada juga komitmen politik dari pemerintahannya maka, negeri ini akan menghadapi berbagai bencana perubahan iklim yang semakin dahsyat.

Pemerintah SBY, harus segera sadar dengan krisis iklim yang sedang terjadi, dan karenanya SBY harus segera menunjukkan kepemimpinannya untuk berperan nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim yang dihasilkan negeri ini. Saat ini, Indonesia tercatat, sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke-3 di Dunia setelah China dan Amerika Serikat.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia, sekitar 75% dihasilkan dari sektor hutan. Deforestasi masif yang terjadi di Indonesia mengakibatkan jutaan ton emisi gas rumah kaca dilepaskan ke atmosfer. Pembukaan hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit, industri kertas dan bubur kertas, serta pertambangan batubara, membuat tingkat deforestasi semakin luar biasa. Menurut data FAO tahun 2007, laju deforestasi yang terjadi di Indonesia sebesar 1,8 Juta hektar pertahun. Atau setara dengan luas 300 lapangan bola dalam satu jam.

Selain deforestasi, sektor listrik juga merupakan kontributor dominan gas rumah kaca di negeri ini. Ketergantungan Indonesia terhadap batubara sebagai energi untuk penghasil listrik, membuat emisi yang dihasilkan dari sektor listrik menempati urutan kedua setelah deforestasi. Sayangnya, sampai saat ini tidak tampak upaya serius dari pemerintah RI untuk mengurangi ketergantungan negeri ini terhadap energi kotor batubara. Alih-alih, pemerintah bahkan membangun secara besar-besaran pembangkit listrik tenaga batubara di seloroh pelosok negeri ini.

Sampai sejauh ini, belum tampak upaya sungguh-sungguh dari Pemerintahan SBY dalam mengambil langkah kongkret dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim di negeri ini. Meskipun dalam beberapa kesempatan SBY, telah berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia. Yang paling anyar adalah janji SBY di pertemuan pemimpin G8 tahun lalu di Jepang, dalam pertemuan tersebut, SBY berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi di Indonesia, sebesar 50% pada tahun 2009, 75% pada tahun 2012, dan 95% pada akhir tahun 2025. Angka yang luar biasa fantastis ini tentu menggembirakan kita, karena menunjukkan komitmen SBY untuk ikut serta dalam mengatasi ancaman perubahan iklim.

Namun, bukannya diterjemahkan dalam berbagai kebijakan yang mendukung komitmen SBY, alih-alih kabinet dalam pemerintahan SBY justru mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dan bahkan terkesan meremehkan janji SBY tersebut. Kebijakan paling anyar datang dari Menteri Pertanian yang mengijinkan pembukaan lahan gambut untuk kelapa sawit, kebijakan ini jelas sekali meremehkan komitmen SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di negeri ini. Karena dengan mengijinkan pembukaan lahan gambut untuk industri kelapa sawit, sama artinya dengan sengaja melepaskan cadangan raksasa gas rumah kaca yang selama ini tersimpan dalam lahan gambut. Kebijakan lain datang dari Departemen ESDM dan PLN, yang sedang membangun secara besar-besaran puluhan pembangkit listrik tenaga batubara di seluruh pelosok negeri ini.

Kelambanan serta kurangnya komitmen dari pemerintah SBY dalam mengatasi krisis iklim akan menyebabkan laju perubahan iklim semakin cepat, dan dampak-dampaknya semakin sering terjadi di berbagai wilayah di negeri ini.

Sikap lamban, dan janji-janji palsu, sama sekali tak punya tempat dalam upaya mengatasi ancaman perubahan iklim. SBY harus sadar, bahwa dia tidak lagi sedang berkampanye, yang dibutuhkan sekarang adalah langkah nyatanya bukan lagi janji-janji kosong khas politisi. SBY harus paham sikap menunda-nunda dan lamban akan berakibat bencana bukan Cuma bagi negeri ini tapi juga bagi seluruh umat manusia. Filosofi Jawa biar lambat asal selamat (Alon-alon asal kelakon) mestinya dibuang jauh-jauh dalam konteks mengatasi krisis iklim ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar