Senin, 18 Januari 2010

Pemerintah Indonesia dan Perubahan Iklim

Ditulis oleh Arif Fiyanto di/pada Mei 19, 2009


Awal Bulan Mei lalu, bertepatan dengan pertemuan tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) di Bali. ADB meluncurkan hasil studi terbarunya yang bertajuk “The Economics of Climate Change in Southeast Asia : A Regional Review”. Laporan studi ini memaparkan permasalahan perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara dan kaitannya dengan perekonomian kawasan.

Berdasarkan studi ADB, Kawasan Asia Tenggara memproduksi sekitar 12% emisi gas rumah kaca dari total produksi gas rumah kaca di seluruh dunia pada tahun 2008.Dengan trend pertumbuhan ekonomi yang positif dan populasi penduduk yang besar, maka diperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Asia Tenggara akan semakin meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Indonesia sebagai negara dengan wilayah terluas dan memiliki populasi penduduk terbesar di Asia Tenggara merupakan kontributor terbesar gas rumah kaca di kawasan ini, lebih dari 58% emisi gas rumah kaca di Asia Tenggara datang dari Indonesia. Selain sebagai penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di kawasan, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak-dampak dari perubahan iklim. Berbagai bencana yang terkait dengan perubahan iklim telah terjadi hampir di seluruh wilayah negeri ini. Mulai dari banjir, kekeringan, tanah longsor, badai tropis, sampai meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit tropis yang yang terkait dengan perubahan iklim, seperti malaria, demam berdarah, dan diare .

Menurut data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, sepanjang tahun 2008 saja, tidak ada satu bulan yang bebas dari bencana terkait perubahan iklim di negeri ini. Berbagai bencana yang terkait dengan perubahan iklim datang silih berganti di berbagai wilayah Indonesia, menewaskan ratusan korban jiwa, dan menyebabkan kerugian finansial triliunan rupiah.

Besarnya kerugian yang harus ditanggung Indonesia akibat berbagai bencana ini seharusnya menjadikan perubahan iklim sebagai masalah penting yang harus segera ditangani secara serius oleh pemerintah, kelambanan pemerintah dalam mengatasi masalah ini akan mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar, bukan cuma kerugian yang memakan korban jiwa, tetapi juga kerugian finansial yang luar biasa besarnya. Dalam jangka pendek upaya mengatasi perubahan iklim, memang tampak seolah-olah akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, tetapi jika pemerintah tak segera mengambil langkah nyata untuk mengatasinya, maka dalam jangka panjang kerugian yang harus ditanggung oleh negeri ini akan jauh lebih besar dibanding jika pemerintah mengambil langkah kongkret sesegera mungkin.

Komitmen politik pemerintah sangat dibutuhkan

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia, datang dari dua sektor utama, yaitu sektor kehutanan dan sektor energi. Sektor kehutanan berkontribusi sebesar 75% dari total emisi gas rumah kaca yang diproduksi Indonesia, sementara sektor energi dan transportasi menyumbang 25% sisanya.

Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga, negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi massif dan pembukaan lahan gambut menyebabkan Indonesia berada pada posisi memalukan ini.

Tahun 2007 lalu, Indonesia bahkan mencatatkan rekor di Guinnes Book of Records sebagai negara dengan laju penggundulan hutan tercepat didunia, dengan kecepatan penggundulan hutan sebesar 1,8 Juta hektar pertahun, atau setara dengan luas 300 lapangan bola dalam satu jam.

Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia terutama sekali diakibatkan oleh pembukaan hutan alam dan lahan gambut secara besar-besaran untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit, industri pulp and paper, dan pertambangan yang beroperasi di areal hutan lindung.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh Indonesia. Bahkan, pada tahun 2007, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim dunia di Bali, dalam kesempatan itu SBY berjanji bahwa Indonesia akan segera mengambil langkah nyata dalam mengurangi emisi gas rumah yang dihasilkan Indonesia, baik dari sektor hutan maupun sektor energi.

Terakhir pada pertemuan G8 di Jepang, akhir tahun lalu, SBY kembali mengulang komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia, terutama dari sektor kehutanan. SBY berjanji pada tahun 2009 emisi gas rumah kaca dari sektor hutan akan berkurang sebesar 50%, lalu pada tahun 2012 akan berkurang sebesar 75%, dan akhirnya pada tahun 2025, emisi gas rumah kaca Indonesia dari sektor kehutanan akan berkurang sebesar 95%.

Namun, sampai sejauh ini komitmen yang disampaikan oleh Presiden SBY belum juga direalisasikan. Berbagai kebijakan yang diambil oleh jajaran kabinetnya, justru meremehkan Komitmen SBY yang disampaikan dalam berbagai forum dunia. Kebijakan paling anyar datang dari Menteri Pertanian yang mengijinkan pembukaan lahan gambut untuk kelapa sawit, kebijakan ini jelas sekali meremehkan komitmen SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di negeri ini. Karena dengan mengijinkan pembukaan lahan gambut untuk industri, sama artinya dengan sengaja melepaskan cadangan besar gas rumah kaca yang selama ini tersimpan dalam lahan gambut.

Selain itu, rencana pemerintah untuk membangun PLTU batubara secara besar-besaran di seantero negeri ini, semakin menunjukkan bahwa komitmen yang disampaikan oleh SBY, hanya sekedar retorika zonder aksi. Sebelum tahun 2010, Pemerintah akan membangun 35 PLTU batubara baru di seluruh Indonesia. Sementara sudah jadi kesadaran dunia dewasa ini, bahwa batubara adalah bahanbakar fosil terkotor, yang merupakan penyumbang dominan gas rumah kaca di dunia. Artinya, dengan menyetujui pembangunan PLTU secara besar-besaran, Pemerintah SBY secara sengaja meremehkan sendiri komitmen yang dibuatnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia

Langkah Nyata yang Dibutuhkan Untuk Mengatasi Krisis Iklim

Melihat semakin seringnya intensitas bencana alam akibat perubahan iklim, maka sudah tiba saatnya bagi pemerintah untuk mengambil langkah kongkret dalam mengatasi krisis iklim, retorika tak ada gunanya untuk mengatasi krisis ini.

Pada sektor kehutanan, pemerintah harus segera mengambil langkah cepat dan nyata untuk segera menghentikan penggundulan hutan besar-besaran yang terjadi di berbagai wilayah negeri ini, mulai dari Riau, Kalimantan dan Papua. Moratorium penggundulan hutan tak bisa ditunda-tunda lagi, jika langkah ini tak diambil segera, maka Indonesia bukan hanya akan mendapat julukan sebagai kontributor terbesar gas rumah kaca dunia, tetapi yang lebih parah lagi, negeri ini akan semakin sering mengalami berbagai bencana alam yang terkait iklim.

Pada sektor energi pemerintah, harus segera menghentikan ketergantungannya terhadap penggunaan batubara sebagai sumber energi. Sebagai energi terkotor dan menyebabkan biaya eksternalitas yang luar biasa besar, batubara seharusnya sudah tidak punya tempat lagi dalam sistem tata kelola energi nasional.

Untuk pemenuhan kebutuhan energi negeri ini, Indonesia punya potensi energi bersih yang luar biasa besar, tetapi ironisnya sampai sejauh ini belum juga dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Potensi energi bersih ini seperti disia-siakan begitu saja, padahal sebagai negara yang terletak di “ring of fire”, Indonesia mempunyai cadangan panas bumi yang berlimpah, sekitar 40% dari total cadangan panas bumi dunia, ada di Indonesia. Belum lagi berbagai potensi lain seperti energi mikrohidro, angin,biomassa, dan surya yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan.

Sekarang yang paling dibutuhkan adalah komitmen dan keberanian politik pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah nyata dalam mengatasi perubahan iklim sekaligus membuktikan komitmen yang sudah dibuat. Kini saatnya bagi pemerintah SBY untuk bertindak, sudah bukan waktunya lagi untuk beretorika. Saatnya membuktikan janji, dan jadi pemimpin dalam mengatasi krisis iklim ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar