Senin, 18 Januari 2010

PLTU dan Kerusakan Lingkungan

[Opini]

PLTU dan Kerusakan Lingkungan

(Kasus PLTU Kanci Cirebon)
Oleh : Indra Yusuf
Beberapa waktu yang lalu untuk kesekian kalinya ribuan warga dari sejumlah desa di Kecamatan Astanajapura-Kabupaten Cirebon melakukan aksi unjuk rasa dengan melakukan pemblokiran jalur Pantura. Aksi warga tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura. Sudah sejak awal masyarakat sekitar lokasi proyek menolak pembangunan PLTU tersebut. Namun sampai saat ini royek pembangunan PLTU masih terus dilanjutkan hingga telah sampai pada tahap pembangunan break water (pemecah ombak) dan pelabuhan bongkar muat batu bara. Seiring dengan pembangunan tersebut dampak negatif primer makin dirasakan warga sekitar.
Alasan penolakan warga terkait dengan kekhawatiran akan adanya ancaman kerusakan lingkungan yang bakal terjadi. Pasalnya mega proyek tersebut konon belum dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Warga menilai keberadaan PLTU akan menimbulkan limbah sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Menurut salah satu koordinator aksi mengatakan sedikitnya tiap tahun akan ada 37.000 ton limbah radioaktif. Limbah ini sangat berbahaya, bahayanya bisa sepuluh kali lipat dari manfaatnya. Sekarang belum apa-apa saja sudah merugikan petani kurang hijau sampai Rp. 2,5 miliar, termasuk ancaman hancurnya perkampungan nelayan tradisional akinbat abrasi (Pikiran Rakyat, 21/01/09).
Disamping persoalan lingkungan sebenarnya proyek pembangunan PLTU tersebut sudak sejak awal diwarnai juga dengan persoalan lain yang menyangkut sosial ekonomi. Yakni persoaln pembebasan lahan, karena ditengarai banyak ditemukannya sertifikat bodong (asli tapi palsu) yang melibatkan aparat terkait setempat sebagaimana dilansir oleh media, serta adanya ketidakpuasan warga terhadap besarnya nilai pembebasan lahan. Sebenarnya mega proyek pembangunan PLTU di Kecamatan Astanajapura yang berkapasitas 660 MW (megawatt) tersebut telah direncanakan beberapa tahun lalu itu merupakan bagian dari beberapa proyek yang lainnya. Proyek yang ditandatangani sejak tangga 20 Agustus 2007 ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman krisis listrik akan dialami Pulau Jawa-Bali. Kedua wilayah tersebut rawan defisit sumber energi listrik karena terlalu menggantungkan diri pada 2 pembangkit listrik induk, yaitu PLTU Suralaya-Banten (berkapasitas 3.400 Mw) dan PLTU Paiton-Jawa Timur (berkapasitas 2400 Mw) yang sudah tua dan sakit-sakitan. PLTU Cirebon sendiri dijadikan sebagai bagian dari rencana cadangan untuk mengantisipasi kegagalan proyek 10.000 Megawatt. Proyek Cash Program PLTU batubara atau yang dikenal dengan proyek 10.000 Mw adalah program percepatan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Proyek ini dilakukan bersama Cina, namun hingga kini perkembangannya belum jelas akibat mengalami keterlambatan dalam pencairan dana. Sehingga beberapa proyek pembangkit listrik termasuk PLTU Cirebon telah disiap dilaksanakan. Proyek. PLTU Cirebon merupakan proyek listrik swasta pertama yang menggunakan teknologi boiler supercritical di Indonesia. Proyek yang diharapkan nantinya dapat beroperasi komersial pada tahun 2011 kelak akan memperkuat pasokan listrik sistem Jawa-Bali sekaligus mengurangi porsi pemakaian BBM pada sistem Jawa-Bali. Memang dari berbagai sistem pembangkit listrik yang ada, PLTU merupakan sistem pembangkit listrik yang paling besar kontribusinya terhadap pencemaran lingkungan. Karena PLTU menggunakan bahan bakar fosil yaitu batu bara. Sedangkan ditinjau dari segi ekonomi PLTU merupakan sistem pembangkit listrik yang paling efisien atau murah. Sementara pembangkit listrik tenaga lain biayanya jauh lebih mahal, namun tingkat pencemarannya jauh lebih rendah daripada PLTU. Pembangkit listrik lain yang dimaksud adalah PLTA, PLTS, PLTN atau PLTPB.
Adapun sumber utama pencemaran PLTU sendiri berasal dari proses pembakaran batu bara yang menghasilkan gas polutan seperti gas Oksida Nitrogen (Nox) dan Oksida Sulfur (Sox). Sehinga apa yang dikhawatirkan warga akan terjadinya hujan asam cukup beralasan. Sebab kedua gas polutan tersebut pada saat berada di udara akan berubah menjadi asam nitrat dan asam sulfat yang merupakan senyawa utama penyebab terjadinya hujan asam. Hanya saja fenomena hujan asam bukanlah fenomena lokal yang akan selalu terjadi pada pada suatu wilayah yang mengalami pencemaran udara akibat kegiatan industri maupun PLTU, melainkan gejala hujan asam dapat terjadi dimana saja sekalipun pada daerah yang tidak tercemar atau tidak terdapat aktivitas pembakaran bahan bakar fosil.
Hujan asam memiliki sifat mengglobal karena bahan-bahan pencemar seperti Nox dan SOx dapat bergerak bebas terbawa angin hingga ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Kita pun sulit untuk mendeteksi darimana sumber pencemaran tersebut berasal ketika terjadi hujan asam. Namun demikian persoalannya bukan sebatas ancaman terjadinya hujan asam atau tidak. Melainkan masih banyaknya dampak yang dapat ditimbulkan dari aktivitas PLTU. Pencemaran udara di sekitarnya yang merupakan akibat proses pengangkutan batu bara adalah dampak negatif lain yang secara langsung dirasakan warga yang berada tidak jauh dari lokasi PLTU. Sementara pencemaran air permukaan ataupun air tanah juga dapat terjadi, dan hal ini akan berimbas secara tidak langsung terhadap gangguan kesehatan penduduk di masa yang akan datang.
Pada dasarnya untuk menjadikan suatu kawasan yang dekat pemukiman sebagai PLTU harus melalui berbagai mekanisme yang sangat ketat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya melengkapi terlebih dahulu dengan Amdal sebelum kegiatan proyek dimulai dan pihak penanggung jawab proyek dapat meminta persetujuan terhadap warga setempat . Karena melibatkan masyarakat dalam penyusunan Amdal merupakan syarat yang terdapat dalam PP No 27 tahun 1999.
Jika warga setempat merasa keberatan daerahnya untuk dijadikan proyek PLTU, alangkah baiknya jika proyek tersebut perlu dikaji ulang. Atau pihak penyelengara proyek dalam hal ini PT Cirebon Electric Power (CEP) untuk melakukan pendekatan lebih manusiawi terhadap warga setempat sebelum proyek dimulai. Menjelaskan secara terbuka mengenai sejauh mana dampak yang akan ditimbulkan terhadap kesehatan lingkungan sekitar serta implikasi dan kompensasinya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Bagaimanapun proyek yang bertujuan baik jangan sampai malah merusak kesehatan lingkungan dan menyengsarakan rakyat kecil.
Penulis Adalah Guru Pendidikan Lingkungan Hidup SMA Negeri 7 Cirebon, Alumni Jurusan Pendidikan Geografi UPI Bandung.

HARIAN UMUM PELITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar